Saturday, 15 February 2014

Pemimpin Muslim Ideal?



            Ini adalah tulisanku yang kedua dalam kurun waktu 6 jam, setelah tulisan pertama mengenai Gunung Kelud telah selesai aku lakukan. Daripada hanya sekedar menonton tv dengan acara yang tidak edukatif dan banyak box office movie yang kurang seru, ditambah sulitnya memejamkan mata, alangkah baiknya jika aku menulis dan menuangkan gagasan serta pemikiran melalui tulisan. Satu hal yang aku tahu bahwa jika kita ingin mengenal semesta, maka membacalah. Jika kita ingin dikenal semesta, maka menulislah. So, waste and spend your time with the useful activities like writing. Spread your idea in your mind through the arrangement of sentences!!! ^_^
Kali ini aku akan sedikit berargumen terkait mengenai pemimpin. Indonesia dikenal sebagai negara majemuk, pluralis, dan kaya akan potensi sumber daya alam dan manusianya. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan 400 bahasa daerah, wilayah geografisnya dari Sabang-Merauke sejajar dengan dari Teheran, Iran-London, Inggris. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara terluas di dunia dengan total luas mencapai 5.193.250 km² (mencakup daratan dan lautan). Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara terluas ke-7 didunia setelah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, China, Brasil dan Australia. Jika dibandingkan dengan luas negara-negara di Asia, Indonesia berada diperingkat ke-2. Dan jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia menempatkan dirinya sebagai negara terluas di Asia Tenggara. Seiring luasnya sebuah negara, maka berbanding lurus dengan problematika yang akan ditanggung oleh sebuah negara termasuk dalam hal pemimpin. Indonesia yang tersebar dengan beberapa pulau besarnya, jelas membutuhkan sebuah regulasi untuk mengatur dan mengelaborasikan antara kepentingan pusat dan daerah. Oleh karena itu, dibuatlah UU Otonomi Daerah No. 32 tahun 2004 meskipun masih belum berjalan optimal. Sehingga diharapkan mampu menciptakan sistem demokrasi yang tersebar secara merata dengan adanya desentralisasi. Permasalahan yang kerap terjadi dan seakan menjadi sebuah budaya dan momok yang begitu erat dengan nama Indonesia adalah korupsi. Korupsi lahir karena adanya sebuah konsep hidup hedonis dan sekular, yang tidak pernah puas terhadap apa yang sudah dimilikinya. Mengkayakan diri sendiri, namun memiskinkan orang lain. Sesuatu yang bukan menjadi haknya, tetapi dipakai untuk konsumsi pribadinya. Maka tak heran, jika istilah “Kleptomania” kita sematkan kepada negeri kaya ini.

 

Para founding fathers negara Indonesia memimpikan bahwa Indonesia akan menjadi suatu negara yang maju, mandiri, bermartabat dengan inklusivitas yang tinggi, dan tidak diinjak harkat dan martabatnya oleh negara lain. Dalam menciptakan iklim yang baik dalam semua sendi-sendi kehidupan di Indonesia, tidak terlepas dari eksistensi seorang pemimpin. Pemimpin menjadi suatu persyaratan utama dalam suatu organisasi (dalam hal ini negara) yang perkataan, perbuatan, dan tindakannya memberi pengaruh kepada para pengikutnya. Aku pernah mengikuti sebuah kajian yang luar biasa ketika menghadiri Tabligh Akbar di Masjid Al-Muqtashidin FE UII. Konten yang dibahas mengenai sosok pemimpin Muslim ideal, yang kemudian disingkat menjadi VISIICEO, yaitu:
-          Visioner
-          Integrity
-          Skillful
-          Inspirative
-          Inclusive
-          Commitment
-          Effective
-          Optimist
Jika kita mengambil sample mengenai sosok pemimpin ideal dan teladan, maka orang yang pantas mendapat predikat tersebut adalah Rasulullah SAW. Beliau adalah suri tauladan yang paling baik di alam jagad raya ini. Meskipun banyak pemimpin-pemimpin dunia saat di era globalisasi saat ini yang cukup bagus, katakanlah Hugo Chavez dari Uruguay, Mahmoud Ahmadinejad dari Iran, Mohammed Mursi dari Mesir, Jose Mujica dari Uruguay, dan lain-lain. Namun orang nomor satu paling berpengaruh sepanjang sejarah (Menurut Michael Hart dalam bukunya “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History”, tetap menjadi tokoh yang paling recommended mengenai kepemimpinan. Maka tak heran, Allah menyanjungnya yang termaktub di dalam QS. Al-Ahzab ayat 21 yang artinya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Permasalahan dan krisis kepemimpinan saat ini sedang mewabah di Indonesia. Tak lama lagi, pesta demokrasi akan digelar dalam kurun waktu +/- 50 hari. Banyak berbagai partai politik dalam mengambil simpati rakyat melakukan berbagai kampanye agar memperoleh kursi di legislatif dan dapat mengusung calon presiden yang diinginkan rakyat. Tidak ada yang salah memang melakukan praktek demokrasi dengan berbagai janji-janji manis untuk mendapatkan suara karena itu memang sudah menjadi suatu keharusan yang juga ada regulasi atau peraturan untuk hal itu. Namun, yang menjadi masalah adalah realisasi apa yang telah diucapkan ketika terpilih nanti. Rakyat Indonesia tidak bodoh, mereka membutuhkan pemimpin yang bukan hanya cakap dalam retorika, tetapi cakap pula dalam aksi. Rakyat tidak butuh janji tetapi bukti. Oleh karena itu, kita sebagai rakyat yang madani dan bermartabat, dituntut untuk cerdas dalam memilih pemimpin. Hati-hati dalam memilih dan jangan mau untuk menjual suara Anda. Suara Anda dalam memilih jauh lebih berharga daripada sekedar materil berupa uang senilai Rp 50.000. Suara Anda menentukan Indonesia dalam 5 tahun ke depan, dan nasib 240 juta lebih rakyat. Jangan termakan isu dan janji yang sering dipublikasikan di media cetak atau elektronik. Sehingga, mimpi dan cita-cita para the founding fathers benar-benar terwujud dalam estafet kepemimpinan Indonesia berikutnya.
If you have a soul of nationalism, you decide to choose a leader from what he has done, not about what he has spoken. Hehe ... Semoga bermanfaat dan mencerahkan!!!
Salam ... ^_^

Wednesday, 5 February 2014

Ketakutan: Sebuah Hal Realistis, Bukan Abstrak

        Ketakutan, sebuah kata yang terdengar lazim namun begitu sangat menyeramkan. Kata itulah yang menjadi salah satu faktor penghambat terbesar seseorang untuk sukses, bertindak, melangkah, dan memanfaatkan peluang serta menutup mulut kita ketika sebenarnya ingin berbicara. Dalam sebuah buku yang menarik, bagus, dan sangat recommended untuk menjadi pribadi yang hebat dan tumbuh besar dari pikiran, yaitu "Berpikir dan Berjiwa Besar" karya David J. Schwartz, ada salah satu sub konten yang dibahas mengenai bangun  kepercayaan dan hancurkan ketakutan.  Ketakutan adalah suatu hal yang riil atau nyata, bukan bersifat abstrak dan karena itu ketakutan harus dikenali yang kemudian baru ditaklukkan. If we don’t know how fear comes and exists, how can we handle it, right?

Sejatinya, ketakutan itu bersifat psikologis yang muncul akibat adanya imajinasi dan pikiran negatif yang kemudian mempengaruhi vitalitas fisik. Itulah mengapa ketakutan yang berlebihan bisa mengakibatkan seseorang itu jatuh sakit. Tanpa kita sadari juga, kebimbangan dan penundaan sebenarnya memupuk rasa takut untuk tumbuh menjadi besar. Ketika Anda ragu-ragu untuk menyatakan cinta kepada orang Anda sukai, ketakutan anda untuk ditolak semakin besar juga. Sehingga, kebimbangan berbanding lurus dengan ketakutan. Lantas, bagaimana untuk mengatasi hal itu? Jika Pak Mario Teguh dalam testimoninya pernah berkata bahwa untuk mengatasi kemalasan adalah jangan malas, maka tak heran jika jawaban serupa ditunjukkan untuk pertanyaan tersebut. Untuk mengatasi kebimbangan adalah JANGAN BIMBANG dan ingat baik-baik bahwa TINDAKAN MENGALAHKAN KETAKUTAN. Prosedur yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan ketakutan dan mendapatkan kepercayaan adalah:
1. Kurung ketakutan Anda dan kunci rapat-rapat. Sebagai ilustrasi yang lebih realistis adalah:
Jenis Ketakutan
Tindakan
1. Rasa malu karena penampilan pribadi.
Perbaiki penampilan Anda. Pergilah ke tukang jahit yang bagus, pakaian Anda harus bersih dan disetrika. Rapikan rambut Anda. Tidak selalu pakaian mahal untuk memperbaiki penampilan Anda.
2. Takut kehilangan pelanggan yang penting.
Bekerja dua kali lebih keras untuk memberikan pelayanan yang lebih baik. Perbaiki segalanya yang mungkin menyebabkan pelanggan kehilangan kepercayaan kepada Anda.
3. Takut gagal dalam ujian
Ubah kekhawatiran menjadi waktu untuk belajar.
4. Takut kepada orang banyak
Tempatkan mereka pada perpektif yang semestinya. Ingat, orang lain juga manusia yang mirip dengan Anda.

2. Lalu, ambil tindakan. Ada  semacam tindakan untuk ketakutan macam apapun dan bersikaplah dengan tegas.
Sehingga jelas bbahwa setiap pikiran negatif, jika dipupuk dengan ingatan berulang dapat menjadi monster pikiran yang nyata yang menghancurkan kepercayaan dan melicinkan jalan bagi kesulitan psikologis yang serius.
            Dalam sebuah artikel yang termuat di dalam Cosmopolitan Magazine, “The Drive Toward Self-Destruction” (Dorongan ke arah penghancuran diri), Alice Mulcahey menunjukkan fakta yang begitu mencengangkan karena diketahui lebih dari 30.000 orang Amerika melakukan bunuh diri tiap tahun, dan 100.000 lagi berusaha mencabut nyawa mereka (seperti mengambil alih privilege dan tugas Malaikat Izarail ya? :D). Ia melanjutkan, “Ada bukti yang mengejutkan bahwa jutaan orang lain membunuh diri mereka sendiri dengan cara yang lebih lambat dan kurang kentara. Yang lain lagi melakukan bunuh diri spiritual dan bukan fisik, dengan terus menerus mencari jalan untuk menghina, menghukum dan umumnya merendahkan diri sendiri.”
Dalam closing advice untuk bab Bangun Kepercayaan dan Hancurkan Ketakutan, terdapat lima prosedur yang bekerja bagi Anda, yaitu:
1. Tindakan menyembuhkan ketakutan, kurangi ketakutan Anda dan kemudian ambil tindakan konstruktif.
2. Lakukan usaha tertinggi untuk memasukkan hanya pikiran positif ke dalam ingatan Anda.
3. Tempatkan orang dalam pespektif yang benar. Semua orang itu hakikatnya sama, tidak ada yang berbeda.
4. Praktekkan melakukan apa yang hati nurani Anda katakan sebagai hal yang benar kepada Anda.
5. Buat segalanya tentang Anda berbunyi, “Saya percaya diri, benar-benar percaya diri.” Praktekkan teknik-teknik kecil ini di dalam aktivitas Anda sehari-hari:
·        Duduklah selalu di barisan depan.
·        Adakan kontak mata
·        Berjalanlah 25 persen lebih cepat
·        Berbicaralah terus terang, atau dengan kata lain JUJUR.
·        Tersenyumlah lebar-lebar.

Ingat, ini hanya sebuah nasehat dan motivasi agar bisa berbenah diri, terutama dalam hal mengatasi ketakutan. Semua nasehat itu baik, namun tidak semuanya mampu diimplementasikan dan dijadikan energi positif karena tergantung dari siapa yang membacanya.
semoga bermanfaat.
Salam ...

Wednesday, 29 January 2014

Erica Goldson's Speech Sebagai Wisudawan Terbaik

Pendidikan adalah salah satu aspek yang sangat penting di tengah progresivitas atau kemajuan di dunia global saat ini. Sehingga banyak mahasiswa yang berlomba untuk menjadi yang terbaik, termasuk dalam hal akademik ketika mereka duduk di bangku perkuliahan. Kendati demikian, banyak juga mahasiswa yang seakan apatis akan masa depannya ketika mereka menunjukkan eksistensinya dengan rasa malas, mencontek, membolos, dan lain sebagainya. Banyak indikator penilaian apakah seorang mahasiswa benar-benar menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik atau tidak, salah satu parameternya adalah Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan prestasi lainnya. Namun, bukan itulah urgensi dari keikutsertaan sebagai agent of change. Di bawah ini adalah pidato Erica Goldson, sebagai lulusan terbaik di salah satu SMA di Amerika Serikat yang sangat baik untuk dijadikan kontemplasi. Berikut pidatonya:

Valedictorian Speaks Out Against Schooling in Graduation Speech
by Erica Goldson
Here I stand
There is a story of a young, but earnest Zen student who approached his teacher, and asked the Master, “If I work very hard and diligently, how long will it take for me to find Zen? The Master thought about this, then replied,“Ten years.” The student then said, “But what if I work very, very hard and really apply myself to learn fast – How long then?” Replied the Master, “Well,twenty years.” “But, if I really, really work at it, how long then?” asked the student. “Thirty years,” replied the Master. “But, I do not understand,” said the disappointed student. “At each time that I say I will work harder, you sayit will take me longer. Why do you say that?” Replied the Master, “When you have one eye on the goal, you only have one eye on the path.”
This is the dilemma I have faced within the American education system. We are so focused on a goal, whether it be passing a test, or graduating as first in the class. However, in this way, we do not really learn. We do whatever it takes to achieve our original objective.
Some of you may be thinking, “Well, if you pass a test, or become valedictorian, didn’t you learn something? Well, yes, you learned something,but not all that you could have. Perhaps, you only learned how to memorize names, places, and dates to later on forget in order to clear your mind for the next test. School is not all that it can be. Right now, it is a place for most people to determine that their goal is to get out as soon as possible.
I am now accomplishing that goal. I am graduating. I should look at this as a positive experience, especially being at the top of my class. However, in retrospect, I cannot say that I am any more intelligent than my peers. I can attest that I am only the best at doing what I am told and working the system.Yet, here I stand, and I am supposed to be proud that I have completed this period of indoctrination. I will leave in the fall to go on to the next phase expected of me, in order to receive a paper document that certifies that I am capable of work. But I contend that I am a human being, a thinker, an adventurer – not a worker. A worker is someone who is trapped within repetition– a slave of the system set up before him. But now, I have successfully shown that I was the best slave. I did what I was told to the extreme. While others sat in class and doodled to later become great artists, I sat in class to take notes and become a great test-taker. While others would come to class without their homework done because they were reading about an interest of theirs, In ever missed an assignment. While others were creating music and writing lyrics, I decided to do extra credit, even though I never needed it. So, I wonder, why did I even want this position? Sure, I earned it, but what will come of it? When I leave educational institutionalism, will I be successful or forever lost? I have no clue about what I want to do with my life; I have no interests because I saw every subject of study as work, and I excelled at every subject just for the purpose of excelling, not learning. And quite frankly, now I’m scared.
John Taylor Gatto, a retired school teacher and activist critical of compulsory schooling, asserts, “We could encourage the best qualities of youthfulness – curiosity, adventure, resilience, the capacity for surprising insight simply by being more flexible about time, texts, and tests, by introducing kids into truly competent adults, and by giving each student what autonomy he or she needs in order to take a risk every now and then. But we don’t do that.” Between these cinder block walls, we are all expected to be the same. We are trained to ace every standardized test, and those who deviate and see light through a different lens are worthless to the scheme of public education, and therefore viewed with contempt.
H. L. Mencken wrote in The American Mercury for April 1924 that the aim of public education is not “to fill the young of the species with knowledge and awaken their intelligence. … Nothing could be further from the truth. The aim …is simply to reduce as many individuals as possible to the same safe level, tobreed and train a standardized citizenry, to put down dissent and originality.That is its aim in the United States.”
To illustrate this idea, doesn’t it perturb you to learn about the idea of “critical thinking?” Is there really such a thing as “uncritically thinking?” To think is to process information in order to form an opinion. But if we are not critical when processing this information, are we really thinking? Or are we mindlessly accepting other opinions as truth?
This was happening to me, and if it wasn’t for the rare occurrence of an avant-garde tenth grade English teacher, Donna Bryan, who allowed me to open my mind and ask questions before accepting textbook doctrine, I would have been doomed. I am now enlightened, but my mind still feels disabled. I must retrain myself and constantly remember how insane this ostensibly sane place really is.
And now here I am in a world guided by fear, a world suppressing the uniqueness that lies inside each of us, a world where we can either acquiesceto the inhuman nonsense of corporatism and materialism or insist on change. We are not enlivened by an educational system that clandestinely sets us up for jobs that could be automated, for work that need not be done, for enslavement without fervency for meaningful achievement. We have no choices in life when money is our motivational force. Our motivational force ought to be passion, but this islost from the moment we step into a system that trains us, rather than inspires us.
We are more than robotic bookshelves, conditioned to blurt out facts we were taught in school. We are all very special, every human on this planet is so special, so aren’t we all deserving of something better, of using our minds for innovation, rather than memorization, for creativity, rather than futile activity, for rumination rather than stagnation? We are not here to get a degree, to then get a job, so we can consume industry-approved placation after placation. There is more, and more still.
The saddest part is that the majority of students don’t have the opportunity to reflect as I did. The majority of students are put through the same brainwashing techniques in order to create a complacent labor force working in the interests of large corporations and secretive government, and worst of all, they are completely unaware of it. I will never be able to turn back these 18 years. I can’t run away to another country with an education system meant to enlighten rather than condition. This part of my life is over,and I want to make sure that no other child will have his or her potential suppressed by powers meant to exploit and control. We are human beings. We are thinkers, dreamers, explorers, artists, writers, engineers. We are anything we want to be – but only if we have an educational system that supports us rather than holds us down. A tree can grow, but only if its roots are given a healthy foundation.
For those of you out there that must continue to sit in desks and yield to the authoritarian ideologies of instructors, do not be disheartened. You still have the opportunity to stand up, ask questions, be critical, and create your own perspective. Demand a setting that will provide you with intellectual capabilities that allow you to expand your mind instead of directing it. Demand that you be interested in class. Demand that the excuse, “You have to learn this for the test” is not good enough for you. Education is an excellent tool,if used properly, but focus more on learning rather than getting good grades.
For those of you that work within the system that I am condemning, I do not mean to insult; I intend to motivate. You have the power to change the in competencies of this system. I know that you did not become a teacher or administrator to see your students bored. You cannot accept the authority ofthe governing bodies that tell you what to teach, how to teach it, and that you will be punished if you do not comply. Our potential is at stake.
For those of you that are now leaving this establishment, I say, do not forget what went on in these classrooms. Do not abandon those that come after you. We are the new future and we are not going to let tradition stand. We will break down the walls of corruption to let a garden of knowledge grow throughout America. Once educated properly, we will have the power to do anything, and best of all, we will only use that power for good, for we will be cultivated and wise. We will not accept anything at face value. We will ask questions, and we will demand truth.
So, here I stand. I am not standing here as valedictorian by myself. I was molded by my environment, by all of my peers who are sitting here watching me. I couldn’t have accomplished this without all of you. It was all of you who truly made me the person I am today. It was all of you who were my competition,yet my backbone. In that way, we are all valedictorians.
I am now supposed to say farewell to this institution, those who maintain it, and those who stand with me and behind me, but I hope this farewell is more of a “see you later” when we are all working together to rear a pedagogic movement. But first, let’s go get those pieces of paper that tell us that we’re smart enough to do so!

Dalam versi Bahasa Indonesia (tidak lengkap):
“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”

Sehingga dapat disimpukan bahwa akademik bukanlah hal yang paling penting, namun tetap menjadi proritas. Tetapi, perkembangan diri (self development) terhadap apa yang kita mau dan dinilai baik serta berproses untuk menjadi pribadi yang hebat, itulah kemenangan dan juara yang sejati.
Semoga bermanfaat!

Sunday, 17 March 2013

Astra 1st Development Program 2013



Date : 11/03/2013 – 18/04/2013
Since early 1974, Astra has been concerned with the education sector in Indonesia, and as many as 134.056 scholarship program has been issued by Astra.
As a concrete manifestation of Astra concern to the Indonesia’s education sector and Astra Roadmap strategy, namely: Portfolio, People & Public Contribution. Then in every second semester in each year, Astra gives scholarships and mentoring program for 1 year in developing technical competencies and non-technical or soft competencies.
The grantee will attend a series of activities such as :
  • Comprehensive personality development program
  • Donation for study 5 million IDR / semester
  • Learning opportunities in Astra Group
  • 5 million IDR for involvement in project
Through this program students are expected to be able to recognize the world of work more closely and can utilize Astra’s affiliated company environment to improve their soft and technical competencies.
In the future, Astra will continue to expand the mentoring program to students so they are ready to contribute optimally to the organizations where they work and become the qualified next generation.
Requirement:
  • Undergraduate student on your 3rd – 7th semester
  • Achieved minimum GPA of 3.00
  • Actively involved in organizational activities
  • Enrolled at the university in the area of java
  • Not currently receiving scholarships from others institutions / companies
Please sign up & register at http://goo.gl/fm96A
Term & Conditions:
  • We only process in accordance with the criteria and requirements listed
  • All decisions taken by PT Astra International Tbk related Astra 1st Program are absolute and inviolable.

Friday, 8 March 2013

"El Comandante" Hugo Chavez


Hugo Chavez, yang dikenal sebagai pemimpin berani dengan sebutan "El Comandante" dengan ideologi sosialis dan anti imperialisme telah meninggal dunia, Selasa (5/3) karena penyakit kankernya. Dunia kehilangan sosok pemimpin yang begitu mencintai rakyatnya yang tidak haus akan kekuasan dan menentang dominasi AS.Sebelum mengenal lebih jauh mengenai sosok pemimpin ini, berikut biografi singkat "El Comandante" Hugo Chavez :
Hugo Chavez Presiden Venezuela ke-53. Chavez, anak dari guru sekolah, lahir di Sabaneta, Venezuela pada tanggal 28 Juli 1954. Dia adalah pemimpin Revolusi Bolivarian, nama untuk idolanya Simón Bolívar. Hugo Chavez juga mendirikan Gerakan Republik Kelima, sebuah organisasi kiri yang mempromosikan bentuk sendiri sosialisme demokratis, yang ia sebut "Sosialisme Abad 21."

Hugo Chavez bergabung dengan militer dan lulus dengan gelar teknik dari Akademi Militer Venezuela pada tahun 1975. 17 tahun Karirnya dengan tentara termasuk menjalankan tugas sebagai penerjun payung dan sebagai guru di akademi. Di sanalah dia mengembangkan gaya perkuliahan yang kuat yang ia kenal. Selama kuliah, Chavez mulai membangun kritik keras terhadap pemerintah Venezuela dan struktur sosial.
Hugo Chavez mulai studi sarjana dalam ilmu politik di Universitas Simon Bolivar di Caracas, tetapi ia tidak mendapatkan gelar. Selama tahun-tahun awal pendidikan politiknya, Chavez dipengaruhi oleh Juan Velasco Alvarado, presiden Peru, dan berbagai macam pemimpin komunis dan sosialis, termasuk Fidel Castro.
Pada tahun 1992, Hugo Chavez telah mengumpulkan berikut signifikan dalam militer. Pada bulan Februari tahun itu, ia terorganisir dan memimpin kudeta militer d'état terhadap pemerintah, yang dipimpin oleh Presiden Carlos Andrés Pérez. Chavez berharap untuk memanfaatkan ketidakpuasan saat ini dengan kondisi ekonomi yang buruk, serta pada kemarahan publik atas kerusuhan berdarah dan pembunuhan massa perusuh selama apa yang disebut "El Caracazo" pada tahun 1989. Kombinasi faktor menyebabkan runtuhnya kudeta, dan Chavez akhirnya dipenjara. Dia telah, bagaimanapun, ditanam benih selama konferensi pers publik, yang kemudian tumbuh untuk mendukung masyarakat luas.

Dalam setahun, Presiden Pérez telah diberhentikan, dan 1994, Hugo Chavez telah diampuni. Dia mulai terbuka berkampanye untuk presiden pada platform Bolivarianisme. keyakinan inti nya termasuk anti-imperialisme, kedaulatan Venezuela, sebuah demokrasi kerakyatan yang melibatkan partisipasi massa dalam pemerintahan, ekonomi swasembada dan nasionalisme yang kuat. Dia juga percaya bahwa pendapatan negara dari minyak harus didistribusikan secara merata ke seluruh warga. Salah satu masalah yang terbesar adalah untuk memerangi kleptokrasi korup yang telah mendominasi Venezuela.
Pada tahun 1998, Chavez memenangkan pemilu dengan 56% suara. Dia segera mulai memberlakukan kesejahteraan sosial dan program keadilan dan mengambil tindakan untuk meningkatkan perekonomian Venezuela. Sayangnya, beberapa tahun pertama kepresidenannya ditandai dengan resesi ekonomi akibat harga minyak rendah dan tingginya suku bunga internasional.
Hugo Chavez adalah salah satu pemimpin yang paling menonjol, vokal dan kontroversial di Amerika Latin. Mantan tentara penerjun payung ini pertama kali mengemuka sebagai pemimpin dalam sebuah kudeta yang gagal pada tahun 1992. Hugo Chavez telah terus naik di ketenaran di panggung dunia dengan kritik pedas nya terhadap Amerika Serikat, khususnya Presiden George W. Bush, dan sekutunya. Ia juga selaras dirinya dengan beberapa pemimpin paling kontroversial dari awal abad 21, seperti Fidel Castro dari Kuba, Mahmoud Ahmadinejad dari Iran.
Hubungannya dengan Washington mencapai titik terendah saat dia menuduh pemerintahan Bush ''memerangi teror dengan teror'' selama perang di Afghanistan pasca 11 September 2001. Chavez juga menuduh AS dibelakang upaya kudeta terhadap dirinya pada tahun 2002. Pemerintahan Chavez meluncurkan sejumlah ''misi'' atau program sosial, termasuk pendidikan dan kesehatan untuk semua. Tetapi angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi meski negara ini kaya minyak.
Di era kepemimpinannya, berbagai kebijakan telah ia lakukan dan mendapat respon positif dari rakyatnya yang membuat dia semakin dicintainya rakyatnya. Salah satu keberhasilannya adalah pengobatan dan pendidikan gratis hingga perguruan tinggi. Selain itu, Venezuela menjadi negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia mengalahkan negara-negara Arab yang notabeneya sebagai negara penghasil minyak. Berikut 7 negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia :
1. Venezuela
2. Arab Saudi
3. Iran
4. Irak
5. Kuwait
6. Uni Emirat Arab
7. Lybia.
Semoga, Indonesia kelak bisa memiliki pemimpin sekaliber Hugo Chavez dari Venezuela atau Mahmoud Ahmadinejad dari Iran.


Saturday, 23 February 2013

Negara Sejuta Masalah


Indonesia, negara kaya dengan sejuta masalah. Negara yang notabenenya sebagai negara besar, berdaulat, kaya akan SDA yang melimpah namun miskin terhadap moralitas bangsa. Bagaimana bangsa ini tidak besar? Indonesia adalah negara kepulauan terbesar dunia. Secara fisik, dia punya panjang garis pantai mencapai 81.000 kilometer dengan jumlah pulau mencapai lebih dari 17.500 pulau. Luas daratan 1,9 juta kilometer persegi, sementara luas perairan 3,1 juta kilometer persegi. Bukan perkara mudah menjaga wilayah seluas itu. Apalagi sebagai negara kepulauan yang letaknya berada di antara dua samudra dan dua benua, Indonesia berbatasan setidaknya dengan 10 negara, mulai dari Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Australia, Papua Niugini, Timor Leste, Palau, hingga India. Jika dinalaogikan, maka luas Indonesia dari Sabang-Merauke setara dengan panjang dari London, Inggris-Teheran, Iran.
Namun ironisnya, bangsa ini dihadapkan berbagai problematika besar yang tak kunjung selesai bak deburan ombak di pantai lautan lepas. Memang selama bangsa itu berdiri, maka masalah akan terus menemani. Bahkan, sampai hari kiamat pun masalah akan tetap ada. Lantas, bagaimana permasalahan itu datang? Permasalahan bangsa datang dari adanya kepentingan individu terhadap kelompok yang ingin mementingkan dirinya sendiri, bukan sebagai suatu kesatuan yang utuh sebagai suatu bangsa yang berdaulat. Permasalahan korupsi yang terus mengakar, kemiskinan yang terus menaungi sistem demokrasi, penyuapan yang melegalkan segala cara, narkoba yang menjadi benalu para remaja, hingga kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh kerabat dekat, kasus pernikahan kilat seorang Bupati terhadap gadis berusia 16 tahun, dan berbagai permasalahan lainnya. Masalah juga terjadi dalam internal partai politik yang baru-baru ini membawa nama Anas Urbaningrum (Ketum Partai Demokrat) yang ditetapkan tersangka oleh KPK dalam kasus Hambalang. Dimana letak moralitas dan integritas bangsa ini, jika elit partai politik dan pemimpinannya tidak mencerminkan "uswatun hasanah" atau contoh yang baik bagi rakyatnya? Para The Founding Fathers menginginkan bangsa yang besar, kuat, dan tidak "loyo". Mereka memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia ketika selama 3,5 abad dijajah oleh Belanda. Apakah dengan cara seperti itu kita memberi "respect" dan apresiasi terhadap perjuangan mereka?
Korupsi telah memberi dampak signifikan terhadap arus kehidupan bangsa ini. Banyak yang dirugikan ketika korupsi itu terjadi. Kemudian, kemiskinan karena tidak adanya distribusi pendapatan yang tidak merata. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Kualitas pendidikan yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan, padahal realitanya banyak pelajar maupun mahasiswa yang menorehkan prestasi di ajang internasional sebagai bukti kehebatan Indonesia dalam hal intelektualitas karena mereka merupakan agent of change dan generasi penerus dan pengganti bangsa. Bukan pemuda yang suka berfoya-foya, pecandu narkoba, dan free sex. 

  
Itulah sedikit deskripsi atau gambaran singkat mengenai sejuta problematika di bangsa besar ini. Dapat ditarik kesimpulan bahwa permasalahan yang ada karena adanya dekadensi dan krisis moral. Maka, perkuat kesatuan dan persatuan negeri ini dan perkaya setiap kekuatan yang ada dengan pembenahan moralitas yang baik. Jangan durhaka kepada Allah, karena semuanya tidak terlepas dari penglihatan dan intervensi dari-Nya.
Negara besar ini akan tetap kokoh berdiri di tengah arus modernisasi dan globalisasi. Indonesia belum merdeka, maka saatnya kita merdeka dimulai dari pembenahan yang kecil. 
I love Indonesia, I'll do anything to making progress these great country. 

Thursday, 6 December 2012

Sex Education Dalam Kurikulum Sekolah


Sex Education Dalam Kurikulum Sekolah
Dewasa ini, arus modernisasi dan globalisasi tidak hanya mewabah dalam dunia fashion namun juga dalam dunia pergaulan. Pergaulan identik dengan remaja karena  notabenenya sebagai generasi muda yang masih mencari jati diri dan cenderung suka menjalin hubungan dengan lawan jenis atau "pacaran". Pada umumnya pacaran sudah tidak ada batasan dan tidak memandang norma agama, aturan, serta terkesan apatis terhadap dampak yang ditimbulkan dari pergaulan bebas. Ditambah lagi dengan pola hidup westernisasi yang kemudian diadaptasi dalam budaya Indonesia terutama dalam hal bergaul. Pergaulan bebas inilah yang mendorong maraknya seks bebas (free sex) yang sepertinya sudah menjadi "virus" mewabah di kalangan remaja terutama pelajar. Ini merupakan problema yang serius dan dibutuhkan atensi atau perhatian dari orang tua terkait pergaulan anak-anak remajanya. Pergaulan bebas jelas memberikan implikasi negatif terhadap pola perkembangan remaja, sehingga kuantitas dan kelahiran anak yang lahir tanpa ayah pun meningkat. Banyak spekulasi muncul yang mengatakan bahwa berpacaran tanpa berhubungan seks seperti sayur tanpa garam, tidak ada romantisme dalam berpacaran. Jelas, perspektif semacam itu salah karena sejatinya menjalin hubungan dengan lawan jenis adalah saling mengenal antara pribadi masing-masing, itulah esensi sebenarnya.
            Berdasarkan survei kesehatan reproduksi remaja oleh Badan Pusat Statistik (BPS, 2009) terhadap 10.833 remaja laki-laki, sebanyak 72% sudah berpacaran yang diantaranya 10,2% telah melakukan hubungan seks diluar nikah dan 61,8% telah melakukan petting. Sementara survei kepada 8.340 remaja perempuan, 6,3% atau sekitar 526 orang telah berhubungan seks. Dengan data kuantitatif seperti itu, perlu adanya sex education (pendidikan seks) terhadap para remaja terutama pelajar yang dinilai paling rentan masuk ke dalam lembah perzinahan yang merupakan enemy of civilization atau musuh peradaban dan target yang paling tepat dalam mensosialisasikan pendidikan seks. Menurut Davis (1971),            informasi yang tidak sehat pada usia remaja mengakibatkan remaja terlibat dalam kasus-kasus berupa konflik-konflik dan gangguan mental, ide-ide yang salah dan ketakutan-ketakutan yang berhubungan dengan seks. Mengingat semakin maraknya seks bebas di kalangan remaja, ada  3 faktor urgensi atau pentingnya pendidikan seks di sekolah.
            Pertama, memberikan pemahaman terhadap seks kepada pelajar bahwa seksualitas merupakan bagian dari kehidupan yang normal dengan cara-cara yang baik dalam berhubungan seks sesuai dengan norma agama, norma hukum, serta aturan. Menurut Federasi Kehidupan Keluarga Internasional (1992) mengemukakan bahwa memahami seksualitas sebagai bagian dari kehidupan yang esensi dan normal. Lantas jika ingin memberikan memberikan pemahaman seksualitas terhadap remaja, langkah yang dapat ditempuh adalah dengan mensosialisasikan sex education yang baik di sekolah. Sosialisasi ini bisa dilakukan dalam bentuk pelajaran tambahan yang dimasukkan dalam kurikulum baru di sekolah sehingga diharapkan mampu meminimalisir angka free sex dan memberikan pengetahuan baru akan bahanya seks bebas. Peran orang tua juga sangat diperlukan dalam pembentukan kepribadian anak-anaknya.
            Kedua, memberikan edukasi/pendidikan kepada pelajar tentang seks yag sehat. Hal ini dapat ditempuh melalui kurikulum sekolah yang dimasukkan ke dalam studi yang berkaitan dengan aspek biologis, seperti mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
            Ketiga, pendidikan seks yang dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah harus berhubungan dengan ajaran Al-Qur'an dan Hadist dan penyampaiannya ketika jam belajar sekolah. Selain itu, dimasukkannya kurikulum pendidikan seks di sekolah harus dipahami sebagai upaya keras untuk mendidik generasi penerus bangsa tentang seksualitas dan bukan berarti sekolah mengambil porsi orang tua untuk mendidik karena sangat ironis melihat pergaulan yang tidak sehat di kalangan kaum pemuda saat ini.
Ada beberapa pendapat yang bilang, ”sex education” memang pantas dimasukkan dalam kurikulum di sekolah menengah, apalagi siswa pada ini adalah masa pubertas. Pendidikan SeksSex education” sangat perlu sekali untuk mengantisipasi, mengetahui atau mencegah kegiatan seks bebas dan mampu menghindari dampak-dampak negatif lainnya.