Saturday, 15 February 2014

Pemimpin Muslim Ideal?



            Ini adalah tulisanku yang kedua dalam kurun waktu 6 jam, setelah tulisan pertama mengenai Gunung Kelud telah selesai aku lakukan. Daripada hanya sekedar menonton tv dengan acara yang tidak edukatif dan banyak box office movie yang kurang seru, ditambah sulitnya memejamkan mata, alangkah baiknya jika aku menulis dan menuangkan gagasan serta pemikiran melalui tulisan. Satu hal yang aku tahu bahwa jika kita ingin mengenal semesta, maka membacalah. Jika kita ingin dikenal semesta, maka menulislah. So, waste and spend your time with the useful activities like writing. Spread your idea in your mind through the arrangement of sentences!!! ^_^
Kali ini aku akan sedikit berargumen terkait mengenai pemimpin. Indonesia dikenal sebagai negara majemuk, pluralis, dan kaya akan potensi sumber daya alam dan manusianya. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan 400 bahasa daerah, wilayah geografisnya dari Sabang-Merauke sejajar dengan dari Teheran, Iran-London, Inggris. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara terluas di dunia dengan total luas mencapai 5.193.250 km² (mencakup daratan dan lautan). Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara terluas ke-7 didunia setelah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, China, Brasil dan Australia. Jika dibandingkan dengan luas negara-negara di Asia, Indonesia berada diperingkat ke-2. Dan jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia menempatkan dirinya sebagai negara terluas di Asia Tenggara. Seiring luasnya sebuah negara, maka berbanding lurus dengan problematika yang akan ditanggung oleh sebuah negara termasuk dalam hal pemimpin. Indonesia yang tersebar dengan beberapa pulau besarnya, jelas membutuhkan sebuah regulasi untuk mengatur dan mengelaborasikan antara kepentingan pusat dan daerah. Oleh karena itu, dibuatlah UU Otonomi Daerah No. 32 tahun 2004 meskipun masih belum berjalan optimal. Sehingga diharapkan mampu menciptakan sistem demokrasi yang tersebar secara merata dengan adanya desentralisasi. Permasalahan yang kerap terjadi dan seakan menjadi sebuah budaya dan momok yang begitu erat dengan nama Indonesia adalah korupsi. Korupsi lahir karena adanya sebuah konsep hidup hedonis dan sekular, yang tidak pernah puas terhadap apa yang sudah dimilikinya. Mengkayakan diri sendiri, namun memiskinkan orang lain. Sesuatu yang bukan menjadi haknya, tetapi dipakai untuk konsumsi pribadinya. Maka tak heran, jika istilah “Kleptomania” kita sematkan kepada negeri kaya ini.

 

Para founding fathers negara Indonesia memimpikan bahwa Indonesia akan menjadi suatu negara yang maju, mandiri, bermartabat dengan inklusivitas yang tinggi, dan tidak diinjak harkat dan martabatnya oleh negara lain. Dalam menciptakan iklim yang baik dalam semua sendi-sendi kehidupan di Indonesia, tidak terlepas dari eksistensi seorang pemimpin. Pemimpin menjadi suatu persyaratan utama dalam suatu organisasi (dalam hal ini negara) yang perkataan, perbuatan, dan tindakannya memberi pengaruh kepada para pengikutnya. Aku pernah mengikuti sebuah kajian yang luar biasa ketika menghadiri Tabligh Akbar di Masjid Al-Muqtashidin FE UII. Konten yang dibahas mengenai sosok pemimpin Muslim ideal, yang kemudian disingkat menjadi VISIICEO, yaitu:
-          Visioner
-          Integrity
-          Skillful
-          Inspirative
-          Inclusive
-          Commitment
-          Effective
-          Optimist
Jika kita mengambil sample mengenai sosok pemimpin ideal dan teladan, maka orang yang pantas mendapat predikat tersebut adalah Rasulullah SAW. Beliau adalah suri tauladan yang paling baik di alam jagad raya ini. Meskipun banyak pemimpin-pemimpin dunia saat di era globalisasi saat ini yang cukup bagus, katakanlah Hugo Chavez dari Uruguay, Mahmoud Ahmadinejad dari Iran, Mohammed Mursi dari Mesir, Jose Mujica dari Uruguay, dan lain-lain. Namun orang nomor satu paling berpengaruh sepanjang sejarah (Menurut Michael Hart dalam bukunya “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History”, tetap menjadi tokoh yang paling recommended mengenai kepemimpinan. Maka tak heran, Allah menyanjungnya yang termaktub di dalam QS. Al-Ahzab ayat 21 yang artinya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Permasalahan dan krisis kepemimpinan saat ini sedang mewabah di Indonesia. Tak lama lagi, pesta demokrasi akan digelar dalam kurun waktu +/- 50 hari. Banyak berbagai partai politik dalam mengambil simpati rakyat melakukan berbagai kampanye agar memperoleh kursi di legislatif dan dapat mengusung calon presiden yang diinginkan rakyat. Tidak ada yang salah memang melakukan praktek demokrasi dengan berbagai janji-janji manis untuk mendapatkan suara karena itu memang sudah menjadi suatu keharusan yang juga ada regulasi atau peraturan untuk hal itu. Namun, yang menjadi masalah adalah realisasi apa yang telah diucapkan ketika terpilih nanti. Rakyat Indonesia tidak bodoh, mereka membutuhkan pemimpin yang bukan hanya cakap dalam retorika, tetapi cakap pula dalam aksi. Rakyat tidak butuh janji tetapi bukti. Oleh karena itu, kita sebagai rakyat yang madani dan bermartabat, dituntut untuk cerdas dalam memilih pemimpin. Hati-hati dalam memilih dan jangan mau untuk menjual suara Anda. Suara Anda dalam memilih jauh lebih berharga daripada sekedar materil berupa uang senilai Rp 50.000. Suara Anda menentukan Indonesia dalam 5 tahun ke depan, dan nasib 240 juta lebih rakyat. Jangan termakan isu dan janji yang sering dipublikasikan di media cetak atau elektronik. Sehingga, mimpi dan cita-cita para the founding fathers benar-benar terwujud dalam estafet kepemimpinan Indonesia berikutnya.
If you have a soul of nationalism, you decide to choose a leader from what he has done, not about what he has spoken. Hehe ... Semoga bermanfaat dan mencerahkan!!!
Salam ... ^_^

Wednesday, 5 February 2014

Ketakutan: Sebuah Hal Realistis, Bukan Abstrak

        Ketakutan, sebuah kata yang terdengar lazim namun begitu sangat menyeramkan. Kata itulah yang menjadi salah satu faktor penghambat terbesar seseorang untuk sukses, bertindak, melangkah, dan memanfaatkan peluang serta menutup mulut kita ketika sebenarnya ingin berbicara. Dalam sebuah buku yang menarik, bagus, dan sangat recommended untuk menjadi pribadi yang hebat dan tumbuh besar dari pikiran, yaitu "Berpikir dan Berjiwa Besar" karya David J. Schwartz, ada salah satu sub konten yang dibahas mengenai bangun  kepercayaan dan hancurkan ketakutan.  Ketakutan adalah suatu hal yang riil atau nyata, bukan bersifat abstrak dan karena itu ketakutan harus dikenali yang kemudian baru ditaklukkan. If we don’t know how fear comes and exists, how can we handle it, right?

Sejatinya, ketakutan itu bersifat psikologis yang muncul akibat adanya imajinasi dan pikiran negatif yang kemudian mempengaruhi vitalitas fisik. Itulah mengapa ketakutan yang berlebihan bisa mengakibatkan seseorang itu jatuh sakit. Tanpa kita sadari juga, kebimbangan dan penundaan sebenarnya memupuk rasa takut untuk tumbuh menjadi besar. Ketika Anda ragu-ragu untuk menyatakan cinta kepada orang Anda sukai, ketakutan anda untuk ditolak semakin besar juga. Sehingga, kebimbangan berbanding lurus dengan ketakutan. Lantas, bagaimana untuk mengatasi hal itu? Jika Pak Mario Teguh dalam testimoninya pernah berkata bahwa untuk mengatasi kemalasan adalah jangan malas, maka tak heran jika jawaban serupa ditunjukkan untuk pertanyaan tersebut. Untuk mengatasi kebimbangan adalah JANGAN BIMBANG dan ingat baik-baik bahwa TINDAKAN MENGALAHKAN KETAKUTAN. Prosedur yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan ketakutan dan mendapatkan kepercayaan adalah:
1. Kurung ketakutan Anda dan kunci rapat-rapat. Sebagai ilustrasi yang lebih realistis adalah:
Jenis Ketakutan
Tindakan
1. Rasa malu karena penampilan pribadi.
Perbaiki penampilan Anda. Pergilah ke tukang jahit yang bagus, pakaian Anda harus bersih dan disetrika. Rapikan rambut Anda. Tidak selalu pakaian mahal untuk memperbaiki penampilan Anda.
2. Takut kehilangan pelanggan yang penting.
Bekerja dua kali lebih keras untuk memberikan pelayanan yang lebih baik. Perbaiki segalanya yang mungkin menyebabkan pelanggan kehilangan kepercayaan kepada Anda.
3. Takut gagal dalam ujian
Ubah kekhawatiran menjadi waktu untuk belajar.
4. Takut kepada orang banyak
Tempatkan mereka pada perpektif yang semestinya. Ingat, orang lain juga manusia yang mirip dengan Anda.

2. Lalu, ambil tindakan. Ada  semacam tindakan untuk ketakutan macam apapun dan bersikaplah dengan tegas.
Sehingga jelas bbahwa setiap pikiran negatif, jika dipupuk dengan ingatan berulang dapat menjadi monster pikiran yang nyata yang menghancurkan kepercayaan dan melicinkan jalan bagi kesulitan psikologis yang serius.
            Dalam sebuah artikel yang termuat di dalam Cosmopolitan Magazine, “The Drive Toward Self-Destruction” (Dorongan ke arah penghancuran diri), Alice Mulcahey menunjukkan fakta yang begitu mencengangkan karena diketahui lebih dari 30.000 orang Amerika melakukan bunuh diri tiap tahun, dan 100.000 lagi berusaha mencabut nyawa mereka (seperti mengambil alih privilege dan tugas Malaikat Izarail ya? :D). Ia melanjutkan, “Ada bukti yang mengejutkan bahwa jutaan orang lain membunuh diri mereka sendiri dengan cara yang lebih lambat dan kurang kentara. Yang lain lagi melakukan bunuh diri spiritual dan bukan fisik, dengan terus menerus mencari jalan untuk menghina, menghukum dan umumnya merendahkan diri sendiri.”
Dalam closing advice untuk bab Bangun Kepercayaan dan Hancurkan Ketakutan, terdapat lima prosedur yang bekerja bagi Anda, yaitu:
1. Tindakan menyembuhkan ketakutan, kurangi ketakutan Anda dan kemudian ambil tindakan konstruktif.
2. Lakukan usaha tertinggi untuk memasukkan hanya pikiran positif ke dalam ingatan Anda.
3. Tempatkan orang dalam pespektif yang benar. Semua orang itu hakikatnya sama, tidak ada yang berbeda.
4. Praktekkan melakukan apa yang hati nurani Anda katakan sebagai hal yang benar kepada Anda.
5. Buat segalanya tentang Anda berbunyi, “Saya percaya diri, benar-benar percaya diri.” Praktekkan teknik-teknik kecil ini di dalam aktivitas Anda sehari-hari:
·        Duduklah selalu di barisan depan.
·        Adakan kontak mata
·        Berjalanlah 25 persen lebih cepat
·        Berbicaralah terus terang, atau dengan kata lain JUJUR.
·        Tersenyumlah lebar-lebar.

Ingat, ini hanya sebuah nasehat dan motivasi agar bisa berbenah diri, terutama dalam hal mengatasi ketakutan. Semua nasehat itu baik, namun tidak semuanya mampu diimplementasikan dan dijadikan energi positif karena tergantung dari siapa yang membacanya.
semoga bermanfaat.
Salam ...

Wednesday, 29 January 2014

Erica Goldson's Speech Sebagai Wisudawan Terbaik

Pendidikan adalah salah satu aspek yang sangat penting di tengah progresivitas atau kemajuan di dunia global saat ini. Sehingga banyak mahasiswa yang berlomba untuk menjadi yang terbaik, termasuk dalam hal akademik ketika mereka duduk di bangku perkuliahan. Kendati demikian, banyak juga mahasiswa yang seakan apatis akan masa depannya ketika mereka menunjukkan eksistensinya dengan rasa malas, mencontek, membolos, dan lain sebagainya. Banyak indikator penilaian apakah seorang mahasiswa benar-benar menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik atau tidak, salah satu parameternya adalah Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan prestasi lainnya. Namun, bukan itulah urgensi dari keikutsertaan sebagai agent of change. Di bawah ini adalah pidato Erica Goldson, sebagai lulusan terbaik di salah satu SMA di Amerika Serikat yang sangat baik untuk dijadikan kontemplasi. Berikut pidatonya:

Valedictorian Speaks Out Against Schooling in Graduation Speech
by Erica Goldson
Here I stand
There is a story of a young, but earnest Zen student who approached his teacher, and asked the Master, “If I work very hard and diligently, how long will it take for me to find Zen? The Master thought about this, then replied,“Ten years.” The student then said, “But what if I work very, very hard and really apply myself to learn fast – How long then?” Replied the Master, “Well,twenty years.” “But, if I really, really work at it, how long then?” asked the student. “Thirty years,” replied the Master. “But, I do not understand,” said the disappointed student. “At each time that I say I will work harder, you sayit will take me longer. Why do you say that?” Replied the Master, “When you have one eye on the goal, you only have one eye on the path.”
This is the dilemma I have faced within the American education system. We are so focused on a goal, whether it be passing a test, or graduating as first in the class. However, in this way, we do not really learn. We do whatever it takes to achieve our original objective.
Some of you may be thinking, “Well, if you pass a test, or become valedictorian, didn’t you learn something? Well, yes, you learned something,but not all that you could have. Perhaps, you only learned how to memorize names, places, and dates to later on forget in order to clear your mind for the next test. School is not all that it can be. Right now, it is a place for most people to determine that their goal is to get out as soon as possible.
I am now accomplishing that goal. I am graduating. I should look at this as a positive experience, especially being at the top of my class. However, in retrospect, I cannot say that I am any more intelligent than my peers. I can attest that I am only the best at doing what I am told and working the system.Yet, here I stand, and I am supposed to be proud that I have completed this period of indoctrination. I will leave in the fall to go on to the next phase expected of me, in order to receive a paper document that certifies that I am capable of work. But I contend that I am a human being, a thinker, an adventurer – not a worker. A worker is someone who is trapped within repetition– a slave of the system set up before him. But now, I have successfully shown that I was the best slave. I did what I was told to the extreme. While others sat in class and doodled to later become great artists, I sat in class to take notes and become a great test-taker. While others would come to class without their homework done because they were reading about an interest of theirs, In ever missed an assignment. While others were creating music and writing lyrics, I decided to do extra credit, even though I never needed it. So, I wonder, why did I even want this position? Sure, I earned it, but what will come of it? When I leave educational institutionalism, will I be successful or forever lost? I have no clue about what I want to do with my life; I have no interests because I saw every subject of study as work, and I excelled at every subject just for the purpose of excelling, not learning. And quite frankly, now I’m scared.
John Taylor Gatto, a retired school teacher and activist critical of compulsory schooling, asserts, “We could encourage the best qualities of youthfulness – curiosity, adventure, resilience, the capacity for surprising insight simply by being more flexible about time, texts, and tests, by introducing kids into truly competent adults, and by giving each student what autonomy he or she needs in order to take a risk every now and then. But we don’t do that.” Between these cinder block walls, we are all expected to be the same. We are trained to ace every standardized test, and those who deviate and see light through a different lens are worthless to the scheme of public education, and therefore viewed with contempt.
H. L. Mencken wrote in The American Mercury for April 1924 that the aim of public education is not “to fill the young of the species with knowledge and awaken their intelligence. … Nothing could be further from the truth. The aim …is simply to reduce as many individuals as possible to the same safe level, tobreed and train a standardized citizenry, to put down dissent and originality.That is its aim in the United States.”
To illustrate this idea, doesn’t it perturb you to learn about the idea of “critical thinking?” Is there really such a thing as “uncritically thinking?” To think is to process information in order to form an opinion. But if we are not critical when processing this information, are we really thinking? Or are we mindlessly accepting other opinions as truth?
This was happening to me, and if it wasn’t for the rare occurrence of an avant-garde tenth grade English teacher, Donna Bryan, who allowed me to open my mind and ask questions before accepting textbook doctrine, I would have been doomed. I am now enlightened, but my mind still feels disabled. I must retrain myself and constantly remember how insane this ostensibly sane place really is.
And now here I am in a world guided by fear, a world suppressing the uniqueness that lies inside each of us, a world where we can either acquiesceto the inhuman nonsense of corporatism and materialism or insist on change. We are not enlivened by an educational system that clandestinely sets us up for jobs that could be automated, for work that need not be done, for enslavement without fervency for meaningful achievement. We have no choices in life when money is our motivational force. Our motivational force ought to be passion, but this islost from the moment we step into a system that trains us, rather than inspires us.
We are more than robotic bookshelves, conditioned to blurt out facts we were taught in school. We are all very special, every human on this planet is so special, so aren’t we all deserving of something better, of using our minds for innovation, rather than memorization, for creativity, rather than futile activity, for rumination rather than stagnation? We are not here to get a degree, to then get a job, so we can consume industry-approved placation after placation. There is more, and more still.
The saddest part is that the majority of students don’t have the opportunity to reflect as I did. The majority of students are put through the same brainwashing techniques in order to create a complacent labor force working in the interests of large corporations and secretive government, and worst of all, they are completely unaware of it. I will never be able to turn back these 18 years. I can’t run away to another country with an education system meant to enlighten rather than condition. This part of my life is over,and I want to make sure that no other child will have his or her potential suppressed by powers meant to exploit and control. We are human beings. We are thinkers, dreamers, explorers, artists, writers, engineers. We are anything we want to be – but only if we have an educational system that supports us rather than holds us down. A tree can grow, but only if its roots are given a healthy foundation.
For those of you out there that must continue to sit in desks and yield to the authoritarian ideologies of instructors, do not be disheartened. You still have the opportunity to stand up, ask questions, be critical, and create your own perspective. Demand a setting that will provide you with intellectual capabilities that allow you to expand your mind instead of directing it. Demand that you be interested in class. Demand that the excuse, “You have to learn this for the test” is not good enough for you. Education is an excellent tool,if used properly, but focus more on learning rather than getting good grades.
For those of you that work within the system that I am condemning, I do not mean to insult; I intend to motivate. You have the power to change the in competencies of this system. I know that you did not become a teacher or administrator to see your students bored. You cannot accept the authority ofthe governing bodies that tell you what to teach, how to teach it, and that you will be punished if you do not comply. Our potential is at stake.
For those of you that are now leaving this establishment, I say, do not forget what went on in these classrooms. Do not abandon those that come after you. We are the new future and we are not going to let tradition stand. We will break down the walls of corruption to let a garden of knowledge grow throughout America. Once educated properly, we will have the power to do anything, and best of all, we will only use that power for good, for we will be cultivated and wise. We will not accept anything at face value. We will ask questions, and we will demand truth.
So, here I stand. I am not standing here as valedictorian by myself. I was molded by my environment, by all of my peers who are sitting here watching me. I couldn’t have accomplished this without all of you. It was all of you who truly made me the person I am today. It was all of you who were my competition,yet my backbone. In that way, we are all valedictorians.
I am now supposed to say farewell to this institution, those who maintain it, and those who stand with me and behind me, but I hope this farewell is more of a “see you later” when we are all working together to rear a pedagogic movement. But first, let’s go get those pieces of paper that tell us that we’re smart enough to do so!

Dalam versi Bahasa Indonesia (tidak lengkap):
“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”

Sehingga dapat disimpukan bahwa akademik bukanlah hal yang paling penting, namun tetap menjadi proritas. Tetapi, perkembangan diri (self development) terhadap apa yang kita mau dan dinilai baik serta berproses untuk menjadi pribadi yang hebat, itulah kemenangan dan juara yang sejati.
Semoga bermanfaat!